Senin, 24 Februari 2014

PENYELESAIAN BONGKARAN BARANG MILIK NEGARA (BMN) KARENA PERBAIKAN (RENOVASI, REHABILITASI, ATAU RESTORASI)


Berdasarkan pengalaman selama ini, masih banyak satuan kerja (satker) yang belum terlalu memahami terkait tata cara penyelesaian bongkaran BMN yang diakibatkan oleh perbaikan yang dilakukan terhadap BMN, baik berupa renovasi, rehabilitasi, ataupun restorasi.  Untuk itu kali ini saya akan mencoba menjelaskan terkait penyelesaian bongkaran BMN karena perbaikan.
Sebelum kita membahas terkait penyelesaian bongkaran BMN, terlebih dahulu harus diketahui pengertian BMN.  Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008, ditentukan bahwa BMN meliputi barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN dan barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.  Selanjutnya agar pemahaman kita lebih lengkap, maka perlu pula diketahui pengertian dari renovasi, rehabilitasi, dan restorasi.
Rehabilitasi adalah perbaikan aset tetap yang rusak sebagian dengan tanpa mengingkatkan kualitas dan/atau kapasitas dengan maksud dapat digunakan sesuai dengan kondisi semula.  Renovasi adalah perbaikan asset tetap yang rusak atau mengganti yang baik dengan maksud meningkatkan kualitas dan kapasitas.  Sedangkan restorasi adalah perbaikan aset tetap yang rusak dengan tetap mempertahankan arsitekturnya.
Dalam penggunaannya, BMN dapat dilakukan perbaikan tanpa menghapus BMN dari daftar barang, antara lain dengan melakukan renovasi, rehabilitasi, atau restorasi sesuai fungsi dan kegunaannya bagi Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang.  Perbaikan ini mengakibatkan adanya bongkaran BMN yang berpotensi menghasilkan penerimaan Negara.  Selanjutnya, bongkaran BMN tersebut dapat dilakukan penjualan, hibah, atau pemusnahan oleh Pengguna Barang setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Pengelola Barang.  Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008, ditentukan bahwa penjualan BMN dilakukan secara lelang.
Berdasarkan pengertian BMN sebagaimana dimaksud di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bongkaran BMN sebagai akibat dari kegiatan perbaikan merupakan BMN.  Bongkaran BMN dikategorikan sebagai selain tanah dan/atau bangunan (barang bergerak).   Bongkaran BMN dapat bersumber dari bongkaran gedung dan bangunan, bongkaran peralatan dan mesin, dan bongkaran jalan, irigasi dan jaringan.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa perbaikan BMN berupa rehabilitasi, renovasi dan restorasi tidak mengakibatkan penghapusan dari Daftar Barang Kuasa Pengguna, Daftar Barang Pengguna maupun Daftar Barang Milik Negara, maka penjualan bongkaran BMN tersebut tidak memerlukan persetujuan penghapusan BMN dari Pengelola Barang.  Namun demikian, Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang yang melaksanakan kegiatan perbaikan harus mengajukan permohonan persetujuan penjualan BMN kepada Pengelola Barang.  Permohonan tersebut harus dilengkapi:
  1. alasan pengajuan permohonan persetujuan penjualan;
  2. fotokopi dokumen penganggaran (antara lain DIPA) kegiatan renovasi, rehabilitasi, dan restorasi terkait;
  3. surat penunjukan tim untuk menilai bongkaran BMN;
  4. laporan penilaian bongkaran BMN;
  5. surat penetapan nilai bongkaran BMN.

Penetapan nilai bongkaran BMN sebagaimana dimaksud pada poin 5 ditentukan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang.  Pelaksanaan penilaian dapat juga melibatkan penilai internal DJKN.
Setelah mendapatkan persetujuan penjualan dari Pengelola Barang, selanjutnya Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang mengajukan permohonan lelang kepada KPKNL setempat dengan melampirkan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen persyaratan lelang yang bersifat umum:
1)   salinan/fotokopi keputusan penunjukan pejabat penjual dari Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang;
2)    daftar barang yang akan dilelang; dan
3)    dokumen yang memuat persyaratan lelang tambahan dari Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang (apabila ada) sepanjang dokumen dimaksud tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lelang;
b. dokumen persyaratan lelang yang bersifat khusus:
1)    salinan/fotokopi keputusan tentang pembentukan panitia penjualan lelang; dan
2)    fotokopi persetujuan penjualan dari Pengelola Barang.
Dalam hal bongkaran BMN terjual dalam pelelangan, Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang melaporkan hal tersebut kepada Pengelola Barang dengan melampirkan fotokopi Salinan Risalah Lelang, bukti setor hasil pelelangan ke Rekening Kas Umum Negara, dan Berita Acara Serah Terima dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan terhitung sejak serah terima barang.  Dalam hal bongkaran BMN tidak terjual dalam lelang pertama, berdasarkan permohonan dari Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, KPKNL setempat dapat memberikan persetujuan:
  1. perubahan nilai limit untuk penjualan lelang ulang berdasarkan penilaian ulang oleh tim yang ditetapkan Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang;
  2. hibah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
  3. pemusnahan bongkaran BMN

Dalam hal tidak terdapat bongkaran BMN akibat kegiatan perbaikan, Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang membuat pernyataan bahwa tidak terdapat bongkaran BMN akibat kegiatan perbaikan dan menyampaikannya kepada Kepala KPKNL setempat.  Dalam hal ini Kepala KPKNL tidak perlu menerbitkan persetujuan penjualan, hibah, atau pemusnahan.

Demikian sedikit penjelasan terkait penyelesaian bongkaran BMN karena perbaikan.  Mudah-mudahan dapat membantu sehingga pengelolaan BMN menjadi lebih baik. Wassalam

Minggu, 09 Februari 2014

Pengawasan dan Pengendalian BMN

Satu lagi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) di bidang pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) terbit di penghujung tahun 2012. PMK tersebut adalah PMK nomor 244/PMK.06/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik Negara. PMK ini merupakan ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) nomor 6 Tahun 2006, sebagaimana diamanatkan pada
pasal 77 Peraturan Pemerintah tersebut. Berlakunya PMK itu sendiri adalah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan, artinya secara positif berlaku pada akhir bulan Juni 2013. 
Pengawasan dan pengendalian (Wasdal) BMN merupakan salah satu bagian dari keseluruhan siklus pengelolaan BMN sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D. Dalam pasal tersebut, pengelolaan BMN meliputi: (1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran; (2) pengadaan; (3) penggunaan; (4) pemanfaatan; (5) pengamanan dan pemeliharaan; (6) penilaian; (7) penghapusan; (8) pemindahtanganan; (9) penatausahaan; (10) pembinaan, pengawasan dan pengendalian. 
Mungkin timbul pertanyaan terkait dengan Wasdal BMN ini, apa bedanya Wasdal BMN dengan pengawasan/pemeriksaan oleh aparat pengawasan internal pemerintah (inspektorat kementerian/lembaga atau BPKP) atau bahkan jika dibandingkan dengan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bukankah APIP dan BPK dalam pemeriksaannya juga meliputi pengelolaan BMN. Pertanyaan lanjutannya, apakah Wasdal BMN ini tidak tumpang-tindih dengan pemeriksaan aparat pengawasan tersebut. 
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, selanjutnya akan dibahas pengawasan dan pengendalian BMN sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 244/PMK.06/2012, hingga pada akhirnya dapat diambil kesimpulan perbedaan dengan pengawasan/pemeriksaan oleh aparat pengawasan fungsional. 

Ruang Lingkup 
Ruang lingkup pengaturan wasdal BMN dibagi dalam dua kategori, yaitu wasdal BMN yang dilakukan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang dan wasdal BMN yang dilakukan oleh Pengelola Barang. wasdal yang dilakukan oleh Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang meliputi kegiatan pemantauan dan penertiban. Sedangkan wasdal yang dilakukan oleh Pengelola Barang meliputi pemantauan dan investigasi. 
Dengan demikian terdapat perbedaan prinsipil ruang lingkup wasdal BMN antara Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang dengan Pengelola Barang, yaitu kegiatan penertiban dan investigasi. Penertiban merupakan tanggung jawab Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, sedangkan investigasi merupakan kewenangan dari Pengelola Barang. 

Objek Pengawasan dan Pengendalian BMN 
Kegiatan pengelolaan BMN yang menjadi objek wasdal menurut pasal 3 PMK nomor 244/PMK.06/2012 adalah sebagai berikut: 1. Objek wasdal oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang: (1) penggunaan; (2) pemanfaatan; (3) pemindahtanganan; (4) penatausahaan; dan (5) pemeliharaan dan pengamanan BMN. 2. Objek Wasdal oleh Pengelola Barang: (1) penggunaan; (2) pemanfaatan; dan (3) pemindahtanganan BMN. 
Pembatasan objek Wasdal PMK ini selaras dengan apa yang diatur dalam PP nomor 6 Tahun 2006 yaitu pasal 75 dan pasal 76. 

Pengawasan dan pengendalian BMN oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
Kuasa Pengguna Barang merupakan unit organisasi yang paling dekat dengan keberadaan BMN. Oleh karena itu, wasdal BMN bertumpu padanya. Sedangkan Pengguna Barang lebih berfungsi untuk monitoring pelaksanaan wasdal yang dilakukan oleh Kuasa Pengguna Barang. Sebagaimana telah diuraikan pada ruang lingkup wasdal BMN, Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang melakukan pemantauan dan penertiban. Pemantauan yang dilakukan oleh Pengguna Barang (pemantauan insidentil) dan oleh Kuasa Pengguna Barang (pemantauan periodik dan insidentil) merupakan pengawasan/monitoring atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pemeliharaan dan pengamanan BMN yang berada dalam penguasaannya. Prinsip umum pemantauan adalah kesesuaian antara pelaksanaan kegiatan dimaksud dengan apa yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Kuasa Pengguna Barang melakukan pemantauan periodik yang dilaksanakan satu tahun sekali dan diselesaikan paling lama akhir bulan Februari. Sementara itu, pemantauan insidentil dilakukan sewaktu-waktu. Dasar dilaksanakannya pemantauan insidentil adanya laporan tertulis dari masyarakat dan/atau diperolehnya informasi dari media massa. 
Sementara itu, penertiban dilakukan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang sebagai tindak lanjut dari: (a) hasil pemantauan, apabila diketahui adanya ketidakseuaian antara pelaksanaan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau (b) surat permintaan penertiban BMN dari Pengelola Barang. 
Bagan satu berikut menyajikan alur wasdal yang dilakukan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang. 

Sesuai bagan di atas, Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang melakukan pemantauan (Pengguna Barang untuk pemantauan insidentil dan Kuasa Pengguna Barang untuk pemantauan periodik/insidentil) untuk mengetahui apakah pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pemeliharaan dan pengamanan BMN telah sesuai ketentuan atau tidak sesuai. Apabila dari hasil pemantauan pelaksanaannya sudah sesuai dengan ketentuan, maka proses tersebut selesai, sedangkan apabila diketahui pelaksanaannya tidak sesuai ketentuan maka dilakukan penertiban. 
Pada tahap penertiban, perlu diteliti lebih lanjut apakah penertiban tersebut merupakan kewenangan Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang atau tidak. Apabila merupakan kewenangannya, maka Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang melakukan penertiban sesuai ketentuan. Namun, jika penertibannya menyangkut kewenangan Pengelola Barang, maka Pengguna Barang mengusulkan penyelesaiannya kepada Pengelola Barang. Salah satu contoh penertiban yang membutuhkan keterlibatan Pengelola Barang adalah penetapan status penggunaan untuk tanah dan/atau bangunan. 

Pengawasan dan pengendalian BMN oleh Pengelola Barang 
Apabila pelaksanaan Wasdal BMN yang pada ranah Pengguna Barang lebih bertumpu pada Kuasa Pengguna barang, maka dalam lingkup Pengelola Barang, peran Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) juga besar. KPKNL merupakan unit Pengelola Barang yang dalam pelaksanaan tugasnya berinteraksi langsung dengan Kuasa Pengguna Barang. 
Berdasarkan PMK Nomor 244/PMK.06/2012 tersebut, KPKNL menerima laporan tahunan wasdal dari Kuasa Pengguna Barang. Selanjutnya, KPKNL memilah data/informasi sesuai dengan surat penetapan/keputusan di level Pengelola Barang, apakah termasuk penetapan/keputusan yang dikeluarkan KPKNL, Kanwil DJKN, ataukah Kantor Pusat DJKN (PKNSI). Data/informasi dari laporan tahunan wasdal Kuasa Pengguna Barang dikirimkan ke Kanwil DJKN, apabila merupakan produk Kanwil dan/atau Kantor Pusat DJKN. 
Pemilahan data/informasi tersebut dilakukan karena sesuai Pasal 26 ayat (2) PMK Nomor 244/PMK.06/2012, khusus untuk penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan BMN yang telah mendapatkan surat penetapan/persetujuan/keputusan dari Pengelola Barang, maka Wasdal dilakukan oleh pihak Pengelola Barang yang mengeluarkan surat penetapan/persetujuan/keputusan dimaksud. 
Bagan 2 menunjukan alur Wasdal BMN oleh Pengelola Barang. 

Dalam rangka Wasdal BMN, Pengelola Barang memiliki kewenangan melakukan pemantauan dan investigasi. Pemantauan dilakukan secara periodik (tahunan) dan insidentil (sewaktu-waktu). KPKNL melakukan pemantauan periodik yang diselesaikan paling lama akhir bulan April, Kanwil DJKN melakukan pemantauan periodik yang paling lama diselesaikan akhir bulan Mei, dan Kantor Pusat DJKN melakukan pemantauan periodik yang paling lama diselesaikan akhir bulan Juni. Sedangkan pemantauan insidentil dilaksanakan sewaktu-waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterima laporan tertulis dari masyarakat dan/atau diperolehnya informasi dari media massa. 
Investigasi dapat dilakukan oleh Pengelola Barang, apabila dari hasil pemantauan terdapat indikasi adanya penyimpangan. Investigasi tersebut dilakukan untuk mengumpulkan barang bukti/informasi yang dapat membuat terang dan jelas mengenai suatu permasalahan untuk dilakukan penyelesaian/penertiban. 
Dalam hal dari hasil investigasi terdapat indikasi kerugian Negara, maka Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan dapat meminta aparat pengawasan intern Pemerintah untuk melakukan audit. Apabila dari hasil audit  erdapat hal-hal yang perlu ditindaklanjuti oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, maka Direktur Jenderal selaku Pengelola Barang menyampaikan hasil audit tersebut kepada Pengguna Barang untuk  itindaklanjuti sesuai dengan peraturan. 

Sanksi 
Sesuai Pasal 40 PMK 246/PMK.06/2012, Pengelola Barang dapat mengenakan sanksi berupa penundaan penyelesaian usulan pemanfaatan, pemindahtanganan, atau  penghapusan BMN, apabila Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang : (a) tidak melakukan wasdal BMN; (b) tidak melaporkan hasil wasdal BMN; dan/atau (c) tidak menindaklanjuti hasil audit. 
Pengenaan sanksi di atas tidak menghapus adanya sanksi yang lebih tegas, apabila terbukti adanya kerugian Negara. Dalam Pasal 41 diatur bahwa setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, sanksi tersebut bisa berupa sanksi pidana maupun sanksi administrasi. 

Kesimpulan 
Oleh karena wasdal BMN dimulai dan bertumpu pada Kuasa Pengguna Barang (Satker), maka bisa dikatakan bahwa wasdal BMN ini juga merupakan pengawasan dan pengendalian “internal” Kuasa Pengguna Barang. Wasdal BMN juga dapat diartikan sebagai langkah  reventif sebelum adanya pengawasan/pemeriksaan “eksternal” Kuasa Pengguna Barang. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa wasdal BMN ini berbeda dengan wasdal yang dilakukan aparat pengawas fungsional. Dan sejatinya, wasdal BMN melengkapi pengawasan yang dilakukan oleh APIP maupun BPK. 
Dengan demikian, PMK Nomor 244/PMK.06/2012 merupakan salah satu pijakan penting dalam mempertajam proses pencapaian tertib administrasi, tertib hukum dan tertib fisik pengelolaan BMN. PMK ini juga berimplikasi adanya pekerjaan rutin baru bagi Pengelola Barang (KPKNL/Kanwil/Pusat) maupun bagi Kuasa Pengguna Barang yaitu pelaksanaan pemantauan periodik. Akhirnya, semoga PMK ini akan membuka era baru pengelolaan BMN yang lebih tertib dan akuntabel.

Teks: Yoni Ardianto
Sumber: Media Kekayaan Negara

Struktur Organisasi DJKN

Kantor Pusat



Kanwil



KPKNL


Sabtu, 08 Februari 2014

Tugas dan Fungsi DJKN

Tugas 

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang. 

Fungsi 

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara menyelenggarakan fungsi: 
  1. perumusan kebijakan di bidang kekayaan negara, piutang negara,dan lelang; 
  2. pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang; 
  3. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang; 
  4. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang; dan 
  5. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

Visi dan Misi DJKN

VISI 
Menjadi pengelola kekayaan negara yang profesional dan akuntabel untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat 

MISI 
  1. Mewujudkan optimalisasi penerimaan, efisiensi pengeluaran, dan efektivitas pengelolaan kekayaan negara. 
  2. Mengamankan kekayaan negara secara fisik, administrasi, dan hukum. 
  3. Meningkatkan tata kelola dan nilai tambah pengelolaan investasi pemerintah 
  4. Mewujudkan nilai kekayaan negara yang wajar dan dapat dijadikan acuan dalam berbagai keperluan. 
  5. Melaksanakan pengurusan piutang negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. 
  6. Mewujudkan lelang yang efisien, transparan, akuntabel, adil, dan kompetitif sebagai instrumen jual beli yang mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat.

Sejarah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945, pemerintah menggulirkan program pengucuran atau pemberian pinjaman dana untuk kredit bagi para pengusaha kecil dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian rakyat pasca penjajahan. Kebijakan ini digariskan oleh Panitia Pemikir Siasat Ekonomi yang didirikan oleh Muhammad Hatta pada tahun 1946. 

Dalam perkembangannya, pengucuran atau pinjaman dana yang diberikan oleh pemerintah tersebut tidak dapat dikembalikan tepat pada waktunya, bahkan dana tersebut menjadi kredit macet. Bila keadaan tersebut tidak segera dilakukan langkah pengamanan, maka dikhawatirkan akan sangat merugikan keuangan dan kekayaan negara yang selanjutnya akan memperlambat pertumbuhan perekonomian negara. Atas dasar pertimbangan tersebut dan mengingat sistem penyelesaian perkara yang ada pada saat itu berdasarkan Pasal 195 HIR tidak mampu melakukan fungsinya dalam melakukan pengamanan terhadap keuangan dan kekayaan negara, maka berdasarkan Keputusan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Kpts/Peperpu/0241/1958 tanggal 6 April 1958 dibentuk Panitia Penyelesaian Piutang Negara (P3N) dengan tugas melakukan penyelesaian piutang Negara dengan cara Parate Eksekusi (melaksanakan sendiri putusan-putusannya seperti surat paksa, sita, lelang, dan keputusan hukum lainnya tanpa harus meminta bantuan lembaga peradilan). 

Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, negara Indonesia kembali ke keadaan tertib sipil yang dimulai pada tanggal 16 Desember 1960. Dalam situasi tertib sipil tersebut, maka dasar hukum yang memayungi Keputusan Penguasa Perang Pusat (yaitu Undang-Undang Dasar Sementara 1950) menjadi tidak berlaku lagi. Oleh karena itu, seluruh Keputusan Penguasa Perang Pusat berikut semua aturan pelaksanaannya tidak akan berlaku lagi. Namun demikian, tugas dan kewenangan P3N untuk menyelesaikan piutang negara secara cepat dan efisien masih dipandang relevan untuk tetap dilaksanakan. Oleh karena itu, sebelum Keputusan Penguasa Perang Pusat tersebut dicabut, maka dipandang perlu untuk menyusun suatu ketentuan pengganti yang dapat mempertahankan eksistensi tugas dan kewenangan pengurusan piutang negara yang cepat dan efisien. 

Pada tanggal 14 Desember 1960 pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Berdasarkan Undang-Undang tersebut pemerintah membentuk Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) sebagai pengganti P3N. Guna melestarikan dan mempertahankan eksistensi kewenangan P3N, maka PUPN juga diberikan kewenangan Parate Eksekusi dalam melaksanakan tugasnya. 

Pada tahun 1971 penyerahan piutang negara yang berasal dari kredit investasi cukup banyak, namun struktur organisasi dan sumber daya manusia PUPN terbatas. Oleh karena itu,berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 dibentuk Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) dengan tugas mengurus penyelesaian piutang negara, sedangkan PUPN yang merupakan panitia interdepartemental hanya menetapkan produk hukum dalam pengurusan piutang negara. Sebagai penjabaran Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tersebut, maka Menteri Keuangan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 517/MK/IV/1976 tentang susunan organisasi dan tata kerja BUPN, dimana tugas pengurusan piutang negara dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Satgas) BUPN. 

Meningkatnya piutang negara yang pengurusannya diserahkan kepada BUPN menandakan makin banyaknya piutang negara yang bermasalah (macet), baik berasal dari perbankan yang mempunyai agunan maupun non perbankan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah memandang perlu mengeluarkan suatu kebijakan guna mempercepat proses pelunasan piutang negara. Untuk itu diterbitkanlah Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 yang menggabungkan fungsi lelang dan seluruh aparatnya dari lingkungan Direktorat Jenderal Pajak ke dalam struktur organisasi BUPN, sehingga terbentuklah organisasi baru yang bernama Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). 

Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991, Menteri Keuangan memutuskan bahwa tugas operasional pengurusan piutang negara dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara (KP3N), sedangkan tugas operasional lelang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara (KLN). Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tanggal 3 Januari 2001, BUPLN ditingkatkan menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN). 

Untuk menyesuaikan tugas dan fungsi pada kantor operasional, maka Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara (KP3N) dan Kantor Lelang Negara (KLN) dilebur menjadi satu dengan nama Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN).Penyatuan ini dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 425/KMK.01/2002 tanggal 2 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara. 

Pada tahun 2006 terjadi penataan organisasi di lingkungan Departemen Keuangan dimana fungsi Pengurusan Piutang Negara dan Pelayanan Lelang digabung dengan fungsi Pengelolaan Kekayaan Negara Direktorat Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara (PBM/KN) DJPb, sehingga Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) berubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Republik Indonesia. Dengan adanya perubahan organisasi tersebut, maka KP2LN berganti nama menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dengan tambahan fungsi pelayanan di bidang kekayaan negara dan penilaian sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Hal ini merupakan salah satu hasil Reformasi Birokasi yaitu penyatuan fungsi-fungsi yang sejenis ke dalam satu unit Eselon I. 

Unit kerja Kantor Pusat DJKN terdiri dari 8 unit eselon II, yaitu: Sekretariat, Direktorat Barang Milik Negara, Direktorat Kekayaan Negara Dipisahkan, Direktorat Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-Lain, Direktorat Penilaian, Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistem Informasi, Direktorat Lelang, dan Direktorat Hukum dan Hubungan Masyarakat. Selain itu, DJKN juga mempunyai unit kerja vertikal yang tersebar di seluruh Indonesia, yang terdiri dari 17 Kantor Wilayah dan 70 KPKNL.

sumber: www.djkn.kemenkeu.go.id